Love for Sale: Cara Epik Menjadi Posesif

“Gue yang pertama ah, taruhan, kalau Om Richard tak akan bawa cewek seperti biasa”

Potongan intro Love for Sale yang seketika mengingatkanku pada sebuah sinteron yang belum lama ini aku sempat ceritakan.

Pembahasan seputar perempuan yang menjadi ‘barang taruhan’ bagi kalangan laki-laki agar termotivasi mambawa pasangan dalam setiap pertemuan, bukanlah hal yang baru di layar sinema di negeri ini. 

Delapan belas tahun lalu, sinetron Lupus Milenia yang digarap oleh Hilman Hariwijaya (sang kreator tokoh) dan Key Mangungsong di era 2000-2001, aku anggap berhasil mengawal scenario model tersebut dan membuat rentetan episode berikutnya semakin seru. Soal Lupus tak akan banyak dibahas di sini ya.

Kembali ke garapan Andibachtiar Yusuf terbarunya tadi, aku merasa bahwa dirinya tepat dalam menggambarkan kehidupan seorang perjaka yang sudah ‘selesai’ atau mapan dalam segala urusannya kecuali asmara. Andi sepertinya terinspirasi dari lingkungan pergaulan di ibu kota yang lazim ditemukan kasus demikian. 

Figur Richard
Figur Richard

Beragam upaya yang dilakukan sang tokoh tuna asmara sekaligus pemeran utama, Richard, untuk merasakan gelora asmara juga digambarkan dengan utuh. Mulai dari kontak dengan teman lama semasa sekolah, minta saran sang sahabat kentalnya, hingga melalui inovasi teknologi berwujud aplikasi kencan. 

Tokoh-tokoh yang ditampilkan sebagai para ‘calon’ Ricahrd pun menurutku bervariasi, walaupun tidak utuh penggambarannya, kecuali sang karakter utama. ‘Calon’ pasangan yang digambarkan mulai dari gadis yang memiliki hubungan kerja dengan Richard, yang terkesan canggung dengan rasa senioritas yang melekat. Berikutnya, seorang ‘kandidat’ yang dipertemukan secara asing dan sang perempuan digambarkan sebagai sosok yang mirip nasibnya dengan Richard. Dan yang terakhir, barulah hadir sosok yang menjadi inti cerita sepanjang film, yaitu Arini.

Bersama Arini, yang diduga sebagai tambatan hati yang dipertemukan melalui sebuah aplikasi, kehidupan Richard berangsur berubah. Richard yang digambarkan memiliki karakter tegas, disiplin, namun kuper, mulai terlepas seiring berjalannya cerita. Arini, si gadis perantau, tampil sebagai tokoh yang professional dalam menjalankan tugasnya, yaitu sebagai pendamping kliennya dalam urusan asmara. 

Dirinya memenuhi kriteria keahlian yang sering menjadi ‘tuntutan’ laki-laki dalam berumah tangga, seperti memasak, membersihkan rumah, seks, dan keperluan domestik lainnya yang lazim melekat pada kaum perempuan. Yang menjadi keunikan adalah bahwa dirinya ternyata merupakan penggemar sepak bola, sesuatu yang jarang ditampilkan dalam penokohan karakter perempuan. Oke, ini mungkin karena factor Andibahtiar yang terobsesi dengan film bolanya, seperti “Romeo Juliet” dan “Hari Ini Pasti Menang”.

Richard dan Kelun
Richard dan Kelun

Sebelum hadir sosok Arini, sebetulnya Richard memiliki kawan curhat lewat kura-kura kesayangannya, Kelun. Memang, hewan peliharaan seringkali dimanfaatkan sebagai teman curhat terbaik, karena selalu mendengarkan lawan bicaranya (manusia) berkeluh kesah. Di film ini, kesan Richard yang merupakan figure pebisnis, yang seringkali melekat sebagai orang yang mandiri, terbiasa menentukan keputusan sendiri, sekaligus disegani oleh rekan-rekannya, justru tidak hadir. Richard adalah figure pebisnis yang seringkali dibully oleh kawan-kawannya, dan yang pasti menjadi sangat bergantung pada Arini. Sewajarnya ketika siapapun merasakan jatuh cinta, semunya akan tampak berubah.

Richard menjadi sosok yang obsesif ketika ‘scenario professional’ Arini berakhir. Dirinya merunut kembali momen dan tempat saat mereka berkencan. Di sinilah momen yang begitu ‘ngena’ bahwa sifat posesif dapat membuat orang harus memecahkan misteri dan kejanggalan sebelum dibuat mati penasaran. Posesif juga yang membuat seseorang bisa mengubah kebiasaan, cara berpikir, dan memperlakukan orang lain.

Kalau acting Gading Marten di film ini mengingatkan pada Joaquin Phoenix, aku sangat sepakat. Bisa dibilang ini adalah versi lain dari Her (2013) yang lebih kontekstual dan intim. Siapapun, pasti pernah merasa kesepian dan butuh figure yang mampu menyelaraskan perasaan itu, tidak peduli sosok tersebut hanya fana atau bisa selamanya.

Dari segi visual, film ini tampil dengan gaya editing gambar yang tidak banyak berbeda ketika nonton Filosofi Kopi, yang bisa dibilang outstanding dari segi koreksi warna yang memanjakan mata. Dialog yang dibawakan terkesan mild, yang mengingatkanku pada A Copy of My Mind (2015) dan Arisan (2003), begitu dekat dengan kehidupan orang usia 30 tahun ke atas.

Selain kedua factor tersebut, aku sangat menyukai bagaimana kisah Love for Sale ini berakhir!

Tinggalkan komentar