Modal Nekat

sudah sangat lama aku tidak rehat di Umbulharjo. Tepatnya sejak Maret 2020, rencana cuti batal kuambil karena “global you-know-lah“. Sebetulnya akhir Juni sudah sempat kembali pulang, namun masih main aman. Sampai rumah mengurung diri demi kemaslahatan umat terutama tetangga sekitar yang notice bahwa aku kembali di Gang Garuda barang cuma sabtu-minggu saja.

Kepulanganku di bulan Juni memang sengaja tanpa izin dengan kantor, hanya mengabari kawan terdekat saja, dan memang berniat hanya menyapa kedua orangtuaku yang udah ‘ngode’ meminta anak ragilnya ini menjamah kediamannya sejak lahir.

Aku berangkat dari jatim sekitar jumat siang, dengan kereta ekonomi yang mengingatkanku pada perjalanan Jogja-Jember sekitar tujuh tahun lalu saat bapak dinas di sana. Keretanya masih sama, kursi untuk 3 orang saling berhadapan, serta AC rumahan nempel di langit-langit kereta, lengkap dengan kebocoran yang mengenai kursi yang kutempati saat itu. Yang membedakan dengan tujuh tahun silam, deretan kursi tersebut hanya ditempati diriku saja. Hahahahha, sungguh ku sangat bahagia merasakan kereta ekonomi layaknya gerbong privat. Selonjoran di atas kursi empuk sambil menyelesaikan bacaan berformat buku elektronik.

Semua penumpang tanpa kecuali diwajibkan bermasker, pakaian lengan panjang, dan jangan sesekali melepaskan face shield kalau gak ingin didatengin Polsuska. Tidak ada pula yang berkeliling membawa snack dan minuman yang enaknya gak seberapa, tapi harganya sekelas restoran hotel bintang lima. Walaupun kunyinyirin, toh, akhirnya kubeli juga walaupun harus melewati 3 gerbong penumpang yang sepi lainnya sebelum sampai di gerbong reservasi.

Maklum, berangkat keburu-buru plus panik. Gara-gara pas sampai stasiun hasil rapid test-ku dianggap tak valid karena telah lewat 3 hari. 30 menit tersisa kuhabiskan waktu untuk cari klinik yang terverifikasi menyatakan bahwa diriku bebas influenza. Oh ya, FYI, pada saat itu calon penumpang yang dinyatakan reaktif pada hari yang sama, akan langsung direfund tiketnya di hari yang sama. Singkat cerita, akhirnya ku kembali ke stasiun dengan 2 surat yang berbeda (Non-reaktif rapid test + Bebas Influenza) dan diperbolehkan masuk ke peron. tak sampai 10 menit, kereta telah datang. Kulihat penumpang yang berdiri dari duduknya mungkin hanya 30 orang saja. Tak ada yang berkaos lengan pendek, dan rerata hanya membawa ransel. Jarang sekali kulihat yang membawa banyak kardus layaknya penumpang merindukan kampung halaman.

Sampai di Jogja, aku harus mencari ojol yang kutunggu di depan Hotel Unisi. Ini nggak pernah kulakukan sebelumnya. Biasanya, ortuku sudah nungguin di pertigaan sekitar selatan stasiun Tugu. Semua demi kemaslahatan umat untuk tidak antar/jemput dulu. Pertama kali juga lewat Malioboro jam 19 udah seperti ba’da subuh, tak ada orang nongkrong! Bang Ojol pun cerita seperti yang biasa dinarasikan di medsos, sepi order.

Kejutan berikutnya datang pada saat aku tiba di depan gang rumahku. Portal yang 5 tahun terakhir tak pernah ditutup, kini kulihat kembali dengan kondisi yang telah ditempel peringatan agar selain warga RT 28 untuk tidak melewati portal tersebut. Hey, walaupun aku merantau, tapi status kependudukanku masih di rumah orang tuaku sih. Tak ada alasan aku dilarang untuk memasuki rumah sendiri, kan? Hahaha.

Dari pintu samping, aku telah disambut kedatanganku, bukan dengan pelukan namun semprotan! Desinfektan membasahi seluruh masker, baju, celana, dan tas. Tak perlu lama-lama, aku langsung mandi seolah habis terjerumus dalam got/parit atau tempat-tempat lain yang memaksa orang tak berani mendekat karena aromanya. Bedanya, ini takut terpapar sesuatu yang tak nampak. Bapak ibu menanyaiku bagaimana pengalaman perjalanan, dan kujelaskan saja seperti yang aku tulis ini.

Kamar yang biasa kutempati, dilarang kutiduri. Aku berpindah ke kamar tamu yang ukurannya lebih luas dan sirkulasi udara lebih baik. Sesuai saran para ahli agar menghindari ruangan bersirkulasi tertutup, aku pun mematuhinya.

Dua hari di rumah kuhabiskan untuk menjamah barang-barang yang tak lama kuperhatikan. Mini Compo Pioneer produksi 1997 yang biasa dipakai mendengarkan radio dan audio dari PC ternyata lampunya mati. Barang-barang di kamar masih kutemukan berkas penting yang belum kutempatkan pada folder khusus, baru sebatas dirapikan saja. Rak buku yang ururtan bukunya tak berubah, dan kamera DSLR dengan kondisi penahan lembab yang sudah terlihat tak berfungsi. Nawaitu untuk pulang emang tak berniat keluar, maka kuputuskan untuk merapikannya.

Hari terakhir aku di rumah, tak kusangka, kedatangan tamu saudara dari Sidoarjo. Wow! Ku tak menyangka, jarang sekali bertemu di lokasi yang berdekatan pada saat kerja, namun dipertemukan di kota Jogja. Ini bukan pertama kalinya sih, namun tetap aja tak terduga, apalagi kita sama-sama dari kawasan zona merah. Untung saja, orang rumah masih chill.

Pukul 15.45 aku sudah berangkat ke pool sebuah bus di kawasan ringroad. Tidak pilih kereta karena jadwalnya sangat pagi dan dirasa mubazir. Bus yang kutempati awalnya sangat sepi, kupikir memang masih sedikit yang pakai opsi ini. Sampai di Solo, dugaanku salah besar. Bus sangat penuh tanpa jarak antar penumpang. Fungsi PATAS telah diterapkan sepenuhnya tanpa protokol. Ku memilih untuk bodoamat dan tidur sepanjang perjalanan. Tak kusangka, jam 22 bus sudah sampai Bungurasih. Hanya perlu 2 jam saja menembus jalan tol.

Kembali ke kos dan beristirahat tanpa merasa ada beban. Tak kusangka di Senin pagi kudengar telp dari rekan kantor yang mengabarkan berita mengejutkan.

Surabaya-Jogja PP

26-28 Juni 2020

Tinggalkan komentar